Perang Paderi dan suku Mandailing di Pariaman.
Perang Paderi dan suku Mandailing di Pariaman.
Ternyata Perang Paderi tidak saja berlangsung di Minangkabau, tetapi juga sampai di tanah Batak. Cerita ini diceritakan oleh Bagindo Hamid (waktu itu calon mertua Sutan Iskandar), yang juga menjadi guru di Surau Tapi Air, Pariaman didaerah Pasa(r) Pariaman. . . . .
Sikap ‘old Tuanku’ adalah perubahan perlahan-lahan, dimana dimasukkan istilah-istilah adat bersandi syara, syara bersandi kitabbulah. Pada umumnya ‘Old tuanku’ berasal dari Royal family, lebih konsevatif dan sangat menguasai adat istiadat orang Minang kabau. Sebaliknya ‘Young Tuanku’ pada umumnya pergi dengan meminta passport dari Aceh atau Inggris di Singapura. Dia lebih radical, dan pada umumnya tidak mempunyai hubungan dengan Royal Family. Dia melihat adat dengan kaca mata hitam putih, sangat puritan, dan menganggap bahwa adat sudah lapuk dan harus diperbaharui.
Ternyata Perang Paderi tidak saja berlangsung di Minangkabau, tetapi juga sampai di tanah Batak. Cerita ini diceritakan oleh Bagindo Hamid (waktu itu calon mertua Sutan Iskandar), yang juga menjadi guru di Surau Tapi Air, Pariaman didaerah Pasa(r) Pariaman. . . . .
Sikap ‘old Tuanku’ adalah perubahan perlahan-lahan, dimana dimasukkan istilah-istilah adat bersandi syara, syara bersandi kitabbulah. Pada umumnya ‘Old tuanku’ berasal dari Royal family, lebih konsevatif dan sangat menguasai adat istiadat orang Minang kabau. Sebaliknya ‘Young Tuanku’ pada umumnya pergi dengan meminta passport dari Aceh atau Inggris di Singapura. Dia lebih radical, dan pada umumnya tidak mempunyai hubungan dengan Royal Family. Dia melihat adat dengan kaca mata hitam putih, sangat puritan, dan menganggap bahwa adat sudah lapuk dan harus diperbaharui.
Sutan Iskandar tak mau pulang ke Pariaman, maka dia harus memilih pekerjaan lain. Pilihan dia adalah bekerja di jawatan PTT, perusahaan pemerintah jang penting (Vitaal Bedrijf), yang lebih netral, akan tetapi kerjanya keras. Di Perusahaan PTT orang tak terlalu peduli pada aliran politik seseorang. Karena dia tak punya ijazah MULO, maka jadilah dia bekerja dengan bekal ijazah HIS (sekolah rendah). Apa boleh buat, umur telah meningkat, sekolah MULO tak bisa lulus, menjadi pegawai BB tidak mungkin, kembali ke Pariaman tidak mau.
Di Eropah teknologi percetakan telah ada sejak tahun 1600-an, akan tetapi Belanda mencegah teknologi itu masuk ke Indonesia. Baru pada awal abd ke 19, percetakan dan surat-surat diperkenalkan ke Indonesia.
Pada mulanya yang memperkenalkan adalah para misionaries protestan, yang membuat kitab sucinya dengan bahasa daerah. Percetakan mulai tumbuh, dan di Jawa kereta api mulai diperkenalkan, khususnya dari Jakarta ke Jawa Tengah. Dengan demikian maka beberapa orang Belanda membuat perusahaan (pemerintah) Post dan Telegaraph di akhir abad ke 19.
Itulah sebabnya Sutan Iskandar masuk ke Jawatan PTT dan pada awalnya sebagai tukang sortir surat-surat R. R ialah permulaan huruf dari perkataan bahasa Perancis, ’Recommande’ atau bahasa Inggris ’Registered’ dan berarti “tercatat” atau untuk jawatan-jawatan “terdaftar”. Surat-surat ini sangat penting, dan harus dikerjakan oleh orang yang terdidik, minimal bisa berbahasa Belanda, Inggris dan Perancis, mempunyai pengetahuan umum yang luas, minimal mengenal negara-negara di Eropah. Pengetahuan elementer itu saja sudah sangat jarang yang mampu.
Yang memperkenalkan percetakan dan pembuatan buku adalah para misionaries protestan, yang membuat kitab sucinya dengan bahasa daerah. Percetakan mulai tumbuh. Misionaries yang berkembang adalah didaerah, dimana agama Islam belum mendalam misalnya di daerah Batak. Pada awal tahan 1800-an pecah perang paderi di Minangkabau. Banyak yang menyangka bahwa perang Paderi, karena orang-orang memakai pakaian seperti Padre (pendeta), tetapi sebenarnya kata itu berasal dari suatu laras Pidari di Sumatera Barat. Negeri Pidari terletak dipegunungan di daerah agam. Seperti dikemukakan diatas di pertentangan agama di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara Tuanku yang berasal dari royal Family dengan Tuanku yang berasal dari orang kebanyakan, pertentangan orang tua (Old tuanku) dan pertentangan anak muda (Young Tuanku).
Asal muasal kata Minangkabau, adalah berasal dari minang Kubu, artinya orang perantauan (sebelum 1000 M ) dari daerah timur-laut (mungkin dari kerajaan Sriwijaya) meminang bangsa asli yaitu orang Kubu. Banyak yang salah sangka bahwa Minang-kabau berasal dari menang kerbau, dalam suatu pertandingan adu kerbau antara Majapahit dan orang Minangkabau. Minangkabau telah ada, telah exist dan telah dikenal sejak sebelum tahun 1000M, jauh sebelum kerajaan Majapahit berdiri.
Suku bangsa kubu sama dengan suku bangsa yang berada dari Madagaskar di Barat, sampai Amerika Tengah di timur, Bangsa Asli Formosa di utara sampai bangsa Aborigin di Australia. Sayangnya bangsa asli Kubu (yang kini dikenal sebagai anak dalam di darah pedalaman Sumatra Barat dan Jambi), tidak bisa membaca dan menulis sehingga kebudayaan mereka terabaikan. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, ada agama asli Batak yaitu Parmalim sama seperti agama suku bangsa Kubu, seperti agama asli suku Dayak (agama kahiyangan).
Bahasa bangsa kubu adalah bahasa Proto Melayu, bahasa asli dari orang Indonesia, yang banyak persamaan dengan bahasa Batak, Tagalog, Toraja, Dayak, bahasa aborigin di Australia, dan bahasa melanesia, maupun bahasa asli orang Formosa (Taiwan) dan bahasa di Madagaskar.
Kedatangan Majapahit (Adytjawarman) ke Minangkabau, bukan lah datang ke suatu daerah yang belum bernama, Gajah mada telah mengetahui adanya kerajaan Aceh, Minangkabau, Sriwijaya di Sumatra sebelum dia mengadakan expansi ke Sumatra.
Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat, setelah menjadi Minangkabau, mereka ber- agama Buddha . Akan tetapi di Sumatra Barat Agama Islam telah masuk pada abad ke12, seperti di Aceh, sedangkan di Jawa pada umumnya masuk setelah abad ke 16.
Walaupun demikian sisa-sisa kebudayaan suku bangsa Kubu masih melekat di mingkabau seperti sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India, dan bangsa Cina Selatan. Banyak yang menyangka sistem ini dibawa dari India atau Cina, akan tetapi sebenarnya berasal dari bangsa sendiri yaitu dari bangsa Kubu.
Pada akhir abad ke 18, dan awal abd ke 19 setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari negara Arab, berbagai aliran gerakan dan Mazhab masuk ke Indonesia. Pada saat itu di Arab Saudi sedang berkembang suatu gerakan aliran yang keras, yaitu Wahabi, yang juga ditunjang oleh King Abdul Azin Bin Ibnu Saud. Ibnu Saud adalah pendiri kerayaan Saudia Arabia yang dulunya dibawah pemerintahan Turki.
Tokoh-tokoh yang belajar di Arab pada umumnya belajar Masalah Fikih, Tauhid dan Tasauf, dan tentu saja bahasa Arab dan Al-Qur’an. Mereka yang mampu menjadi guru dan dinamakan Tuanku. Tuanku dari gerakan Wahabi, yang ingin merubah Minangkabau secara radikal, meninggalkan adat yang bertentangan dengan agama Islam.
Timbulah pertentangan antara tuanku dari Royal Family dan Tuanku dari orang kebanyakan. Pertentangan ini yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena kerajaan Minang tidak pernah punya militer dia tidak kuat melawan kaum Paderi. Tuanku dari Royal Family (kerajaan Minangkabau tidak mempunyai tentara) yang masih mendukung adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang terkenal itu.
Ternyata Perang Paderi tidak saja berlangsung di Minangkabau, tetapi juga sampai di tanah Batak. Cerita ini diceritakan oleh Bagindo Hamid (waktu itu calon mertua Sutan Iskandar), yang juga menjadi guru di Surau Tapi Air, Pariaman didaerah Pasa(r) Pariaman. Sutan Iskandar pada waktu itu baru pulang dari melalang buana, dan karena tidak bekerja di berguru agama di Surau tapi Air kepunyaan kakaknya Haji Sutan Darap, yang kakak Sutan Iskandar dari lain ibu. Setelah keadaan menjadi lebih baik Bagindo Hamid kemudian bekerja di Jawatan Kereta Api dari Sumatra Utara ke Aceh. Bagindo Abdul Hamid berasal dari suku Mandailing, dia menceritakan pada Sutan Iskandar, mengapa dan bagaimana asal muasal adanya suku Mandailing di Pariaman.
Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan Tuanku dari Royal Family dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, dan kemudian meng-Islamkan Tanah Batak selatan, serta menghilangkan pengikut Syiah, di Minang Kabau. Golongan Syiah, memang hilang waktu itu, tetapi adat dan tradisi syiah di bulan Muharam, masih berlangsung sampai kini. Kesalahan terbesar dari kaum paderi sehingga dia kalah, karena dia membuat banyak front dan musuh yang dilawan sekaligus, yaitu tuangku dari Royal Famili, Orang Batak non Muslim, kaum Syiah dan Juga Pasukan Belanda.
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyebarnya datang dari Bonjol. Rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya.
Pada awalnya Raja Oloan Sorba Dibanua (kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja), dari daerah utara memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara daerah Batak sebelah Selatan. Ternyata kekuatan penyerbu sangat kuat, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Dalam tradisi perang tanding yang menang akan menjadi pemenang, tetapi tidak akan melakukan tindakan apa-apa pada para prajurit atau Rakyat.
Ternyata dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Melihat raja Oloan Sorba Dibanua menang dalam perang tanding anak buahnya melakukan perbuatan yang buruk pada prajurit dan Rakyat Raja Porhas. Mereka ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi meningggalkan keluarga dan harta benda.
Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua kalau tidak kini maka nanti atau setelah cukup kuat pada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua.
Suku bangsa kubu sama dengan suku bangsa yang berada dari Madagaskar di Barat, sampai Amerika Tengah di timur, Bangsa Asli Formosa di utara sampai bangsa Aborigin di Australia. Sayangnya bangsa asli Kubu (yang kini dikenal sebagai anak dalam di darah pedalaman Sumatra Barat dan Jambi), tidak bisa membaca dan menulis sehingga kebudayaan mereka terabaikan. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, ada agama asli Batak yaitu Parmalim sama seperti agama suku bangsa Kubu, seperti agama asli suku Dayak (agama kahiyangan).
Bahasa bangsa kubu adalah bahasa Proto Melayu, bahasa asli dari orang Indonesia, yang banyak persamaan dengan bahasa Batak, Tagalog, Toraja, Dayak, bahasa aborigin di Australia, dan bahasa melanesia, maupun bahasa asli orang Formosa (Taiwan) dan bahasa di Madagaskar.
Kedatangan Majapahit (Adytjawarman) ke Minangkabau, bukan lah datang ke suatu daerah yang belum bernama, Gajah mada telah mengetahui adanya kerajaan Aceh, Minangkabau, Sriwijaya di Sumatra sebelum dia mengadakan expansi ke Sumatra.
Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat, setelah menjadi Minangkabau, mereka ber- agama Buddha . Akan tetapi di Sumatra Barat Agama Islam telah masuk pada abad ke12, seperti di Aceh, sedangkan di Jawa pada umumnya masuk setelah abad ke 16.
Walaupun demikian sisa-sisa kebudayaan suku bangsa Kubu masih melekat di mingkabau seperti sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India, dan bangsa Cina Selatan. Banyak yang menyangka sistem ini dibawa dari India atau Cina, akan tetapi sebenarnya berasal dari bangsa sendiri yaitu dari bangsa Kubu.
Pada akhir abad ke 18, dan awal abd ke 19 setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari negara Arab, berbagai aliran gerakan dan Mazhab masuk ke Indonesia. Pada saat itu di Arab Saudi sedang berkembang suatu gerakan aliran yang keras, yaitu Wahabi, yang juga ditunjang oleh King Abdul Azin Bin Ibnu Saud. Ibnu Saud adalah pendiri kerayaan Saudia Arabia yang dulunya dibawah pemerintahan Turki.
Tokoh-tokoh yang belajar di Arab pada umumnya belajar Masalah Fikih, Tauhid dan Tasauf, dan tentu saja bahasa Arab dan Al-Qur’an. Mereka yang mampu menjadi guru dan dinamakan Tuanku. Tuanku dari gerakan Wahabi, yang ingin merubah Minangkabau secara radikal, meninggalkan adat yang bertentangan dengan agama Islam.
Timbulah pertentangan antara tuanku dari Royal Family dan Tuanku dari orang kebanyakan. Pertentangan ini yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena kerajaan Minang tidak pernah punya militer dia tidak kuat melawan kaum Paderi. Tuanku dari Royal Family (kerajaan Minangkabau tidak mempunyai tentara) yang masih mendukung adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang terkenal itu.
Ternyata Perang Paderi tidak saja berlangsung di Minangkabau, tetapi juga sampai di tanah Batak. Cerita ini diceritakan oleh Bagindo Hamid (waktu itu calon mertua Sutan Iskandar), yang juga menjadi guru di Surau Tapi Air, Pariaman didaerah Pasa(r) Pariaman. Sutan Iskandar pada waktu itu baru pulang dari melalang buana, dan karena tidak bekerja di berguru agama di Surau tapi Air kepunyaan kakaknya Haji Sutan Darap, yang kakak Sutan Iskandar dari lain ibu. Setelah keadaan menjadi lebih baik Bagindo Hamid kemudian bekerja di Jawatan Kereta Api dari Sumatra Utara ke Aceh. Bagindo Abdul Hamid berasal dari suku Mandailing, dia menceritakan pada Sutan Iskandar, mengapa dan bagaimana asal muasal adanya suku Mandailing di Pariaman.
Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan Tuanku dari Royal Family dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, dan kemudian meng-Islamkan Tanah Batak selatan, serta menghilangkan pengikut Syiah, di Minang Kabau. Golongan Syiah, memang hilang waktu itu, tetapi adat dan tradisi syiah di bulan Muharam, masih berlangsung sampai kini. Kesalahan terbesar dari kaum paderi sehingga dia kalah, karena dia membuat banyak front dan musuh yang dilawan sekaligus, yaitu tuangku dari Royal Famili, Orang Batak non Muslim, kaum Syiah dan Juga Pasukan Belanda.
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyebarnya datang dari Bonjol. Rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya.
Pada awalnya Raja Oloan Sorba Dibanua (kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja), dari daerah utara memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara daerah Batak sebelah Selatan. Ternyata kekuatan penyerbu sangat kuat, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Dalam tradisi perang tanding yang menang akan menjadi pemenang, tetapi tidak akan melakukan tindakan apa-apa pada para prajurit atau Rakyat.
Ternyata dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Melihat raja Oloan Sorba Dibanua menang dalam perang tanding anak buahnya melakukan perbuatan yang buruk pada prajurit dan Rakyat Raja Porhas. Mereka ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi meningggalkan keluarga dan harta benda.
Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua kalau tidak kini maka nanti atau setelah cukup kuat pada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua.
Banyak dari orang batak mandailing yang lari ke Pariaman. Dan di Pariaman dia diberi tanah ulayat dan dinamakan suku mandailing. Suku ini berasal dari orang-orang melarikan diri dari tanah Batak. Seorang pemuda yang bernama Pongkinangolngolan berasal dari tanah batak, belajar pada awalnya pada Tuanku Tagang Tunjuk. Kepandaiannya ternyata diatas rata-rata dan dianjurkan untuk belajar lebih jauh pada Tuanku Nan-Renceh.
Selain itu ada seorang pemuda yang namanya Jatengger Siregar yang juga melarikan diri ke Minangkabau, mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran gerakan Wahabi di Minangkabau. Para muslim minang (di Pariaman) banyak yang tertarik pada Hasan – Husen anak-anak Sayidina Ali cucu Baginda Rasullulah Muhamad, dan mereka menamakan dirinya menganut aliran Syi’ah.
Dendam marga Siregar ini baru terbalas setelah 26 generasi, ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Tuanku Rao- memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.
Terjadilah pertentangan segitiga antara Tuanku yang berasal dari Royal Family (salah satunya Tuanku Tagang Tunjuk), Tuanku yang beraliran Wahabi (Tuanku Imam Bonjol ) , dan Tuanku yang terpengaruh aliran Syiah (Tuanku Marah Sutan).
Beberapa orang Minang dan Keturunan Batak diantaranya, Tuanku Ranca Dilabuh, Tuanku Lareh Sakti, Tuanku Piobang dan Tuanku Sumanik pernah menjadi pewira pasukan Rum (pasukan kavaleri Janitsar Turki yang menguasai Timur Tengah) . Mereka bergabung dalam gerakan paderi, untuk menghapuskan adat. Dari luar kelihatannya adat minang banyak bertentangan dengan ajaran Islam orthodox. Satu contoh misalnya harta warisan diturunkan ke garis ibu. Sebenarnya yang diadatkan adalah waris tinggi, misalnya tanah ulayat, gelar adat, nama suku dsb. Tapi waris rendah misalnya harta penghasilan orang tua, akan jatuh pada anak baik laki- atau wanita. Tapi gerakan Wahabi sebenarnya ingin menghilangkan Royal family (dan feodalisme) serta menghilangkan gerakan syiah, dan meng-Islamkan yang belum Islam, dan memurnikan Islam sesuai dengan dengan gerakan Wahabi dari Saudi Arabia.
Gerakan mereka mendapat dukungan kuat baik berupa uang dan orang dari Tuanku Nan Renceh, Orang Batak dengan dalih ikut perang Bonjol, ingin membalas dendam kepada apa yang dilakukan kepada kakek moyangnya Raja Porhas Siregar tentu juga ingin meng – Islamkan tanah Batak.
Selain itu ada seorang pemuda yang namanya Jatengger Siregar yang juga melarikan diri ke Minangkabau, mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran gerakan Wahabi di Minangkabau. Para muslim minang (di Pariaman) banyak yang tertarik pada Hasan – Husen anak-anak Sayidina Ali cucu Baginda Rasullulah Muhamad, dan mereka menamakan dirinya menganut aliran Syi’ah.
Dendam marga Siregar ini baru terbalas setelah 26 generasi, ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Tuanku Rao- memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.
Terjadilah pertentangan segitiga antara Tuanku yang berasal dari Royal Family (salah satunya Tuanku Tagang Tunjuk), Tuanku yang beraliran Wahabi (Tuanku Imam Bonjol ) , dan Tuanku yang terpengaruh aliran Syiah (Tuanku Marah Sutan).
Beberapa orang Minang dan Keturunan Batak diantaranya, Tuanku Ranca Dilabuh, Tuanku Lareh Sakti, Tuanku Piobang dan Tuanku Sumanik pernah menjadi pewira pasukan Rum (pasukan kavaleri Janitsar Turki yang menguasai Timur Tengah) . Mereka bergabung dalam gerakan paderi, untuk menghapuskan adat. Dari luar kelihatannya adat minang banyak bertentangan dengan ajaran Islam orthodox. Satu contoh misalnya harta warisan diturunkan ke garis ibu. Sebenarnya yang diadatkan adalah waris tinggi, misalnya tanah ulayat, gelar adat, nama suku dsb. Tapi waris rendah misalnya harta penghasilan orang tua, akan jatuh pada anak baik laki- atau wanita. Tapi gerakan Wahabi sebenarnya ingin menghilangkan Royal family (dan feodalisme) serta menghilangkan gerakan syiah, dan meng-Islamkan yang belum Islam, dan memurnikan Islam sesuai dengan dengan gerakan Wahabi dari Saudi Arabia.
Gerakan mereka mendapat dukungan kuat baik berupa uang dan orang dari Tuanku Nan Renceh, Orang Batak dengan dalih ikut perang Bonjol, ingin membalas dendam kepada apa yang dilakukan kepada kakek moyangnya Raja Porhas Siregar tentu juga ingin meng – Islamkan tanah Batak.
Tuanku Nan Renceh yang adalah teman dari Tuanku Tagang Tunjuk, dia dipertemukan dengan Pongkinangolngolan, dan mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan, Tuanku Nan Renceh kemudian menerima dia sebagai muridnya baik dalam ilmu agama, maupun ilmu kemiliteran. Ia memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang masih keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut dan meng-Islamkan Tanah Batak, dan kalau bisa mengangkatnya menjadi Raja Batak.
Setelah belajar cukup dari Tuanku Tagang tunjuk, dan Tuanku Nan Renceh Pongkinangolngolan kemudian diberi nama Umar Katab. Seperti Nama Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak, atau Umar dari Batak. Kemudian setelah belajar di Mekah selama 2-3 tahun dia diangkat dan kini namanya Tuanku Rao.
Sebenarnya ada pertentangan antara Tuanku Nan Renceh (dari Young Tuanku) dengan Tuanku Tagang Tunjuk (Rari Royal Family atau Old Tuanku). Terjadi perselisihan di Pariaman dan salah satu menantu Tuanku Tagang Tunjuk di Pariaman terbunuh dalam perselisihan itu. Untungnya perselisihan antara Tuanku dari Royal Family (Tuanku Tagang Tunjuk) dan dari Tuanku Paderi (Tuanku Nan Renceh) di Pariaman, tidak terlalu hebat, dan diadakan kata sepakat dahulu karena ada tujuan yang sama yaitu meng-Islamkan daerah utara (Batak). Orang mandailing atau tapanuli Selatan pada umumnya selain lancar berbahasa Batak, mereka juga lancar berbahasa Minang.
Tetapi di darat, daerah agam, hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada kakek Sutan Hamzah.
Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. Pasukan Paderi terdiri dari 45.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 100.000 infanteri meluluh lantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduk yang tak mau masuk Islam dibantai. Beberapa ribu marga Lubis dan Marga Pane yang menyerah dan mau masuk Islam, diperlakukan dengan baik oleh Tuanku Rao.
Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai, Tuanku Jimbanan, dan Tuanku Dareh .
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena Tentara Belanda yang membatu Batak di Tanah karo, memakai siasat jahat, yaitu membuat sungai sungai yang dilalui pasukan Paderi dengan kuman-kuman yang kemudian dikenal dengan kuman Kolera yang dibawa dari India, serta melemparkan pasukan-pasukan Paderi dengan bangkai- bangkai tikus yang mati karena penyakit Sampar atau pes. Dalam penyerbuan kearah utara itu Pasukan Paderi mengalami berjangkitnya penyakit kolera dan penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena penyakit kolera dan penyakit Pes.
Karena tulisan ini tidak berpretensi untuk menjadi buku sejarah hystory of Indonesia, atau auto biographi ataupun memoar, tetapi hanya suatu His Story of Sutan Iskandar maka penulis hanya menuliskan apa yang dikatakannya (unauthorized and uncheck of story).
Setelah belajar cukup dari Tuanku Tagang tunjuk, dan Tuanku Nan Renceh Pongkinangolngolan kemudian diberi nama Umar Katab. Seperti Nama Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak, atau Umar dari Batak. Kemudian setelah belajar di Mekah selama 2-3 tahun dia diangkat dan kini namanya Tuanku Rao.
Sebenarnya ada pertentangan antara Tuanku Nan Renceh (dari Young Tuanku) dengan Tuanku Tagang Tunjuk (Rari Royal Family atau Old Tuanku). Terjadi perselisihan di Pariaman dan salah satu menantu Tuanku Tagang Tunjuk di Pariaman terbunuh dalam perselisihan itu. Untungnya perselisihan antara Tuanku dari Royal Family (Tuanku Tagang Tunjuk) dan dari Tuanku Paderi (Tuanku Nan Renceh) di Pariaman, tidak terlalu hebat, dan diadakan kata sepakat dahulu karena ada tujuan yang sama yaitu meng-Islamkan daerah utara (Batak). Orang mandailing atau tapanuli Selatan pada umumnya selain lancar berbahasa Batak, mereka juga lancar berbahasa Minang.
Tetapi di darat, daerah agam, hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada kakek Sutan Hamzah.
Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. Pasukan Paderi terdiri dari 45.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 100.000 infanteri meluluh lantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduk yang tak mau masuk Islam dibantai. Beberapa ribu marga Lubis dan Marga Pane yang menyerah dan mau masuk Islam, diperlakukan dengan baik oleh Tuanku Rao.
Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai, Tuanku Jimbanan, dan Tuanku Dareh .
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena Tentara Belanda yang membatu Batak di Tanah karo, memakai siasat jahat, yaitu membuat sungai sungai yang dilalui pasukan Paderi dengan kuman-kuman yang kemudian dikenal dengan kuman Kolera yang dibawa dari India, serta melemparkan pasukan-pasukan Paderi dengan bangkai- bangkai tikus yang mati karena penyakit Sampar atau pes. Dalam penyerbuan kearah utara itu Pasukan Paderi mengalami berjangkitnya penyakit kolera dan penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena penyakit kolera dan penyakit Pes.
Karena tulisan ini tidak berpretensi untuk menjadi buku sejarah hystory of Indonesia, atau auto biographi ataupun memoar, tetapi hanya suatu His Story of Sutan Iskandar maka penulis hanya menuliskan apa yang dikatakannya (unauthorized and uncheck of story).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar